Friday, 20 November 2015



MAKALAH

“KONFLIK SAMPIT”

­Penyusun         :

Nama             : Dirga Alban
NPM              : 11315978
Fakultas         : Teknik Sipil dan Perencanaan
Jurusan          : Teknik Sipil
Dosen            : Emilianshah Banowo



JURUSAN TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS GUNADARMA
2015



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Konflik Sampit”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini menjadi lebih baik.
Penulis  berharap semoga dengan adanya makalah ini, dapat bermanfaat bagi penulis dan tentunya remaja Indonesia.




Depok, 10 November 2015
                                                           

                                                                                                                            Penulis










DAFTAR ISI


Cover.............................................................................................................................................        i
Kata Pengantar..............................................................................................................................        ii
Daftar Isi.......................................................................................................................................        iii

BAB I PENDAHULUAN
      1.1   Latar Belakang................................................................................................................        1
      1.2   Rumusan Masalah...........................................................................................................        1
      1.3   Tujuan Penulisan.............................................................................................................        2

BAB II PEMBAHASAN
      2.1   Pengertian Konflik..........................................................................................................        3
      2.2   Terjadinya Konflik Sampit..............................................................................................        4
      2.3   Dampak dari Konflik Sampit..........................................................................................        5
      2.4   Konflik di Dayak dengan etnik Madura.........................................................................        5
      2.5   Solusi untuk mengatasi Konflik Sampit...........................................................        9

BAB III PENUTUP
      3.1   Kesimpulan.....................................................................................................................        10
      3.2   Saran...............................................................................................................................        10













BAB I
PENDAHULUAN
1.1              Latar Belakang

Konflik Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia,berawal pada Februari 2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu.Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan Tengah dan meluas keseluruh provinsi,termasuk ibukota Palangka Raya.
Konflik sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi beberapa insiden sebelumnya antar warga dayak dan madura. Konflik besar terakhir terjadi antara desember 1996 dan januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas. Penduduk madura pertama tiba dikalimantan tahun 1930 dibawah program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial  belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah indonesia. Tahun 2000,transmigrasi membentuk 21% populasi kalimantan tengah. Suku dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga madura yang semakin agresif .hukum-hukum baru telah memungkinkan warga madura memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial diprovinsi ini seperti perkayuan,penambangan dan perkebunan.ada sejumlah cerita yang menjelaskan insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai membakar rumah-rumah dipemukiman madura. Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan diri setelah beberapa anggota mereka diserang.Selain itu, juga dikatakan bahwa seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.

1.2       Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan masalah, antara lain adalah:
1.      Pengertian Konflik
2.      Mengapa konflik sampit dapat terjadi?
3.      Bagaimana Dampak dari konflik Sampit?
4.      Konflik Di Dayak dengan etnik Madura
5.      Bagaimana solusi untuk menindak lanjuti / mengatasi permasalahan ini?





1.3        Tujuan Penulisan

Tujuan dalam penulisan makalah ini bagaimana pihak Kepolisian mampu mengatasi masalahi konfllik antar suku bangsa seperti yang terjadi antara Suku Dayak  dan Suku Madura.

































BAB II

PEMBAHASAN


2.1       Pengertian Konflik

Banyak definisi konflik yang dkemukakan oleh para pakar. Dari berbagai definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum dan diartikan sebagai berikut: konflik adalah
(1) bentuk pertentangan alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan;
(2) hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;
(3) pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku atau yang terlibat di dalamnya;
(4) suatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisiknya terganggu;
(5) bentuk pertentangan yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan tampilan kelompok yang sudah ada;
(6) proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan pesaing;
(7) Suatu bentuk perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis; kekacauan rangsangan kontradiktif dalam diri individu.






2.2       Terjadinya Konflik Sampit
a.       Sengketa tanah milik orang dayak yang dilakukan oleh warga Madura.
Penduduk Madura pertama tiba dikalimantan tahun 1930 mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah colonial Belanda.Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalimantan Tengah meminjam tanah kepada warga Dayak. Setelah beberapa tahun tanah itu pun diminta karena suatu keperluan tetapi warga Madura tetap tidak memberikan tanah tersebut malahan warga Madura mengeluarkan Celurit.
b.      Rasa etnosentrisme yang kuat.
Yang mana warga Madura mempunyai adat yang membawa Parang/Celurit kemana pun pergi,membuat orang Dayak melihat sang tamunya selalu siap berkelahi.Sebab bagi orang Dayak membawa Senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang/memburu.
            c.       Keserakahan orang Madura.
Dimana orang Madura menguasai perekonomian,perkebunan,perkayuan dan perindustrian dan sering terjadi kasus pelanggaran tanah larangan masyarakat dayak selalu terdesak dan mengalah karena kasus dilarangnnya menambang intan diatas tanah adat hingga kampung mereka yang harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari penebang kayu yang mendesak mereka kedalam hutan.
d.      Pembunuhan awal dilakukan oleh warga Madura.
Pembunuhan tersebut terjadi pada tahun 1982 dikota sampit,seorang warga dayak dibunuh oleh warga Madura.







           
                 



2.3       Dampak dari Konflik Sampit
a.     Hilangnya harta benda 
Konflik ini mengakibatkan lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal.                       
b.      Banyak korban jiwa berjatuhan
Konflik Sampit ini mengakibatkan lebih dari 500 kematian dan banyak korban jiwa yang luka-luka.
c.       Retaknya hubungan antar suku.
Konflik ini mengakibatkan putusnya hubungan tali silaturahmi.
d.      Menghambat kerjasama.



2.4       Konflik di Dayak dengan Etnik Madura

Di Kalteng, konflik antara etnik Dayak dan etnik Madura pada awal 2001. Konflik tersebut, sebenarnya merupakan ulang-an dari konflik antara kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di Kalbar. Bahkan 8 atau 9 kali berturut-turut dalam waktu dari lima tahun. Kalau konflik itu dapat berkali-kali terjadi di Kalbar dan kemudian disusul di Kalteng maka ada dua hal yang perlu diperhatikan:
(1) penyelesaian konflik di Kalbar dulu tidak tuntas, artinya tidak dilakukan secara mendalam sampai pada akar-akar-nya;
(2) konflik  seperti yang teru-lang di Kalteng itu dapat terjadi lagi, mungkin di daerah lain.
konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalteng berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di Kalbar dan Kalteng kedua suku itu hidup berdamping-an di suatu tempat atau lokasi dan mereka bisa melakukan interaksi. Dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku-suku pendatang selain suku Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi. Tetapi masalah yang bertentangan itu ada dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku Madura.
Pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di Kalbar pada 1999 dan sebelumnya, baik dalam stereotip etnik maupun pola penyerangan. Dengan mengacu pada model analisis kebudayaan dominan yang dikembangkan Bruner, penelitian Suparlan (2000), menyebutkan bahwa kekerasan etnik yang terjadi di Sambas karena adanya produk dan corak hubungan antaretnis yang didominasi oleh cara-cara kekeras-an yang terpola yang telah dilaku-kan secara sepihak oleh orang-orang Madura. Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang Melayu Sambas dapat dilihat sebagai imbas balik dari pendomi-nasian dengan cara-cara main ka-yu, ancaman, dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura Sambas sebelum terjadinya keru-suhan Sambas. Kekerasan orang-orang Melayu Sambas terhadap orang-orang Madura Sambas yang berupa pembunuhan dan penghan-curan rumah serta segala harta milik mereka, secara simbolik dapat dilihat sebagai sebuah upacara pembersihan atau penyucian terha-dap kekotoran yang menimpa kehi-dupan mereka yang dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang-orang Madura.
Temuan penelitian Suparlan menunjukkan, hubungan antar et-nik yang relatif tidak berlangsung secara harmonis seperti yang terjadi antara Orang Melayu-Madura dan antara Orang Dayak-Madura di Sambas, hubungan antarpribadi atau perorangan di antara mereka tidak berlaku umum. Yang ada adalah hubungan antar stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan antarkategori atau label yang tidak menunjukkan ciri-ciri kemanusiaan. Orang Madura dilihat oleh Orang Melayu sebagai kategori hewan yang kotor, yaitu anjing. Sebaliknya, Orang Madura melihat Orang Melayu sebagai penakut dan hanya kelihatan besar tetapi kropos seperti krupuk. Sedangkan Orang Dayak melihat orang Madura sebagai hewan hama dan buruan mereka yang rakus yaitu babi hutan, dan sebaliknya Orang Madura melihat Orang Dayak  sebagai kafir dan mahluk terbela-kang. Konflik antarindividu yang menghasilkan kerusuhan antar su-ku bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan dapat dipahami dengan mengacu pada stereotip sukubangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang mereka gunakan. Yaitu, kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat sebagai kategori manusia atau orang-perorang tetapi sebagai kategori hewan atau benda yang sudah sewajarnya untuk dihancur-kan.
Kemudian, kesamaan yang cukup jelas antarkedua etnik baik di Sambas maupun di Kalteng adalah terutama dalam pola penyerangan terhadap orang-orang Madura sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Melayu dan Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh orang-orangnya, hancurkan rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah konflik dengan teror dan ketakutan, sehingga orang Madura harus mengungsi dari wilayah tersebut. Berbeda dengan orang-orang Melayu, tokoh-tokoh Dayak di Kalteng masih bersedia berdamai dengan orang Madura sebagaimana terjadi berulang kali di Sambas. Suparlan (2000), mempertanyakan mengapa kerusuhan massal tersebut baik antaretnis maupun yang bukan di masa dan setelah kejatuhan Orde Baru selalu terwujud dalam bentuk kekerasan? Hal itu terjadi dengan selalu didasari oleh adanya perasa-an tertekan dan ketakutan yang meluas dalam masyarakat, serta dipicu oleh adanya perlawanan yang dilakukan oleh korban pemalakan, atau kejahatan, atau tindakan se-wenang-wenang terhadap sumber kesewenang-wenangan tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh orang-perorang berubah men-jadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang menjadi perlawanan massal yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan oleh perorangan tersebut merupa-kan keinginan yang mendalam da-lam hati mereka yang juga merasa-kan penderitaan karena kesewe-nang-wenangan tersebut. Perlawan-an yang kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari keberanian un-tuk menghancurkan ketakutan dan teror yang mereka derita secara massal yang sudah tidak tertahan-kan.
Dalam hubungan antara suku lokal Dayak dan suku pendatang Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya prasangka nega-tif dari suku Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang positif, kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang ekonomi yang lebih kuat ketimbang dalam kebu-dayaan suku Dayak membawa suku Madura pada tingkat dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang di daerah asalnya sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah lain. Sementara pada pihak suku Madura berpendapat bahwa masya-rakatnya memberi sumbangan be-sar pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalbar maupun di Kalteng. Tanpa kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak akan menjadi setinggi seperti sekarang.
Warga etnik Madura yang minoritas di tengah-tengah suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus memiliki tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing. Dalam konteks demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan suku penda-tang yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau, Batak, dan lain sebagainya pandai berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya berkoeksistensi dengan suku mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan akibat konflik. Di antara kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya. Semula bersifat laten (tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest (terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan permusuhan disertai keke-rasan yang tak terkendalikan.
Di samping itu, ada kecende-rungan orang-orang Dayak merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mere-ka sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga me-mandang sebelah mata adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keun-tungan secara berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan ekono-mi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber da-ya alam yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun seca-ra umum adalah salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum.
Jarak keyakinan, corak ke-budayaan, dan karakteristik ma-sing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan stereotipe dan/ atau label negatif dari masing-masing etnik terhadap yang lain menjadi penopang semangat dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya menjadi akar masa-lah dalam kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara etnik Dayak dengan etnis Madura baik di Kalteng maupun Kalbar.
Agaknya karena begitu kuat-nya citra negatif terhadap etnik Madura oleh etnik Dayak, telah membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas masyarakat untuk mengu-sir orang-orang etnik Madura dari bumi Kalimantan Tengah. Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD-KT (Lembaga Musyawarah Masyarakat Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah), masyarakat etnik Dayak hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi orang-orang etnik Madura untuk kembali ke Kalteng. Kalau pun diperkenan-kan kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat. 
Dalam konteks stereotip etnis dan berbagai kekecewaan lainnya (misalnya di bidang ekonomi) dari orang-orang Dayak terhadap orang-orang Madura, maka hanya dengan latar pemicu yang sepele saja meledaklah kerusuhan dalam wajah konflik etnik Dayak-Madura di Sampit, Palangkaraya, dan Pangka-lan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang membawa ribuan korban nyawa dan terbanyak di pihak etnik Madura. Orang-orang Madura yang masih hidup baik yang tinggal di kota maupun yang tersebar di banyak desa di bumi Borneo itu terpaksa memilih lari keluar ber-amai-ramai karena jiwanya teran-cam, dan mereka itulah saat ini yang menjadi pengungsi di Pulau Madura.












2.5       Solusi untuk mengatasi Konflik Sampit
                a.       Menerjunkan satuan pengamanan dari POLRI  dan TNI ke lokasi kerusuhan.
Misalnya:
1.      Dengan memberikan seruan kepada semua pihak pertikaian.
2.      Mengadakan evakuasi para korban dan warga Madura kewilayah tetangga.
3.      Melaksanakan patroli dan menempatkan pasukan pada tempat yang rawan pertikaian.

b.      Melakukan tindakan persuasif dan preventif terhadap kelompok yang bertikai untuk mengantisipasi berkembangnya kerusuhan yang meluas.
Seperti mengeluarkan himbauan yang disampaikan media massa dan elektronik serta mobil keliling secara kontinyu.
c.       Meyakinkan Gubernur,para Bupati dan Camat di Kalimantan Tengah agar tidak mengambil jalan pintas memulangkan suku Madura kepulau Madura.
Karena warga Madura tinggal didaerah Kalimantan Tengah sudah sejak tahun 1930 apabila Pemerintah memulangkan suku Madura ke pulau Madura akan mengakibatkan kecemburuan social.
Konflik sampit ini selesai karena adanya kerendahan hati dari tokoh-tokoh Madura untuk memulai perdamaian dan terjadilah perjanjian perdamaian antara kedua suku apabila disalah satu pihak ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukum.
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian dibuatlah Tugu Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku.  Tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3.








BAB III

PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Dari tragedi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa perang sampit adalah tragedi kemanusiaan yang terjadi antara suku Dayak dan suku pendatang Madura yang pindah dengan tujuan melaksanakan sistem Transmigrasi yang di lakukan oleh Pemerintahan Belanda dalam proses pemerataan penduduk.
Suku Madura pindah ke Kalimantan Tengah dan meminjam tanah kepada suku Dayak sebagai tempat untuk tinggal.
Oleh karena itu, konflik ini jangan terulang kembali. Karena jika kembali terjadi akan merusak nilai-nilai kerukunan di Indonesia.

3.2        Saran
Sistem kekerabatan, rasa saling menghormati, menyayangi dan sikap toleransi harus lebih di tingkatkan lagi sesama warga di Indonesia, walaupun berbeda ras, suku dan agama demi mewujudkan Negara Indonesia yang aman, damai dan sesuai dengan semboyan Bangsa Indonesia yang dikenal dengan “Bhineka Tunggal Ika.”












No comments:

Post a Comment