MAKALAH
“KONFLIK
SAMPIT”
Penyusun :
Nama :
Dirga Alban
NPM :
11315978
Fakultas : Teknik Sipil dan Perencanaan
Jurusan : Teknik Sipil
Dosen : Emilianshah Banowo
JURUSAN
TEKNIK SIPIL
UNIVERSITAS
GUNADARMA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga saya
dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul “Konflik
Sampit”.
Penulis
menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, oleh karena itu, penulis
mengharapkan saran dan kritik yang membangun agar makalah ini menjadi lebih
baik.
Penulis berharap semoga dengan adanya makalah ini,
dapat bermanfaat bagi penulis dan tentunya remaja Indonesia.
Depok, 10
November 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................................................. i
Kata Pengantar.............................................................................................................................. ii
Daftar Isi....................................................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang................................................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah........................................................................................................... 1
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Konflik.......................................................................................................... 3
2.2 Terjadinya Konflik Sampit.............................................................................................. 4
2.3 Dampak dari Konflik Sampit.......................................................................................... 5
2.4 Konflik di Dayak dengan
etnik Madura......................................................................... 5
2.5 Solusi untuk mengatasi
Konflik Sampit........................................................... 9
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 10
3.2 Saran............................................................................................................................... 10
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Konflik
Sampit adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di Indonesia,berawal pada Februari
2001 dan berlangsung sepanjang tahun itu.Konflik ini dimulai di kota Sampit, Kalimantan
Tengah dan meluas keseluruh provinsi,termasuk ibukota Palangka Raya.
Konflik
sampit tahun 2001 bukanlah insiden yang terisolasi, karena telah terjadi
beberapa insiden sebelumnya antar warga dayak dan madura. Konflik besar
terakhir terjadi antara desember 1996 dan januari 1997 yang mengakibatkan 600
korban tewas. Penduduk madura pertama tiba dikalimantan tahun 1930 dibawah
program transmigrasi yang dicanangkan oleh pemerintah kolonial belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah
indonesia. Tahun 2000,transmigrasi membentuk 21% populasi kalimantan tengah.
Suku dayak merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga
madura yang semakin agresif .hukum-hukum baru telah memungkinkan warga madura
memperoleh kontrol terhadap banyak industri komersial diprovinsi ini seperti
perkayuan,penambangan dan perkebunan.ada sejumlah cerita yang menjelaskan
insiden kerusuhan tahun 2001. Satu versi mengklaim bahwa ini disebabkan oleh
serangan pembakaran sebuah rumah Dayak. Rumor mengatakan bahwa kebakaran ini
disebabkan oleh warga Madura dan kemudian sekelompok anggota suku Dayak mulai
membakar rumah-rumah dipemukiman madura. Profesor Usop dari Asosiasi Masyarakat
Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan demi mempertahankan
diri setelah beberapa anggota mereka diserang.Selain itu, juga dikatakan bahwa
seorang warga Dayak disiksa dan dibunuh oleh sekelompok warga Madura setelah
sengketa judi di desa Kerengpangi pada 17 Desember 2000.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
masalah yang sudah dipaparkan diatas, maka dapat ditentukan beberapa rumusan
masalah, antara lain adalah:
1.
Pengertian Konflik
2.
Mengapa konflik sampit dapat terjadi?
3.
Bagaimana
Dampak dari konflik Sampit?
4.
Konflik Di
Dayak dengan etnik Madura
5.
Bagaimana solusi
untuk menindak lanjuti / mengatasi permasalahan ini?
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan dalam
penulisan makalah ini bagaimana pihak Kepolisian mampu mengatasi masalahi
konfllik antar suku bangsa seperti yang terjadi antara Suku Dayak dan Suku Madura.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konflik
Banyak definisi konflik yang dkemukakan oleh para pakar. Dari berbagai
definisi dan berbagai sumber yang ada istilah konflik dapat dirangkum dan
diartikan sebagai berikut: konflik adalah
(1) bentuk pertentangan
alamiah yang dihasilkan oleh individu atau kelompok karena mereka yang terlibat
memiliki perbedaan sikap, kepercayaan, nilai-nilai, serta kebutuhan;
(2) hubungan
pertentangan antara dua pihak atau lebih (individu maupun kelompok) yang
memiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu, namun diliputi
pemikiran, perasaan, atau perbuatan yang tidak sejalan;
(3) pertentangan atau
pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan, nilai, dan motifasi pelaku
atau yang terlibat di dalamnya;
(4) suatu proses yang
terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak lain, dengan
melakukan kekerasan fisik yang membuat orang lain perasaan serta fisiknya
terganggu;
(5) bentuk pertentangan
yang bersifat fungsional karena pertentangan semacam itu mendukung tujuan
kelompok dan memperbarui tampilan, namun disfungsional karena menghilangkan
tampilan kelompok yang sudah ada;
(6) proses mendapatkan
monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan, dengan menyingkirkan atau melemahkan
pesaing;
(7) Suatu bentuk
perlawanan yang melibatkan dua pihak secara antagonis; kekacauan rangsangan
kontradiktif dalam diri individu.
2.2 Terjadinya Konflik Sampit
a. Sengketa tanah milik orang
dayak yang dilakukan oleh warga Madura.
Penduduk Madura pertama tiba
dikalimantan tahun 1930 mengikuti program transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah colonial Belanda.Banyak warga Madura yang baru datang ke Kalimantan
Tengah meminjam tanah kepada warga Dayak. Setelah beberapa tahun tanah itu pun
diminta karena suatu keperluan tetapi warga Madura tetap tidak memberikan tanah
tersebut malahan warga Madura mengeluarkan Celurit.
b. Rasa etnosentrisme yang kuat.
Yang mana warga Madura
mempunyai adat yang membawa Parang/Celurit kemana pun pergi,membuat orang Dayak
melihat sang tamunya selalu siap berkelahi.Sebab bagi orang Dayak membawa
Senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang/memburu.
c.
Keserakahan
orang Madura.
Dimana orang Madura menguasai
perekonomian,perkebunan,perkayuan dan perindustrian dan sering terjadi kasus
pelanggaran tanah larangan masyarakat dayak selalu terdesak dan mengalah karena
kasus dilarangnnya menambang intan diatas tanah adat hingga kampung mereka yang
harus berkali-kali pindah tempat karena harus mengalah dari penebang kayu yang
mendesak mereka kedalam hutan.
d. Pembunuhan awal dilakukan oleh warga Madura.
Pembunuhan tersebut terjadi
pada tahun 1982 dikota sampit,seorang warga dayak dibunuh oleh warga Madura.
2.3 Dampak
dari Konflik Sampit
a. Hilangnya harta benda
Konflik ini mengakibatkan
lebih dari 100.000 warga Madura kehilangan tempat tinggal.
b.
Banyak korban jiwa berjatuhan
Konflik Sampit ini
mengakibatkan lebih dari 500 kematian dan banyak korban jiwa yang luka-luka.
c.
Retaknya hubungan antar suku.
Konflik ini mengakibatkan
putusnya hubungan tali silaturahmi.
d.
Menghambat kerjasama.
2.4 Konflik di Dayak dengan Etnik Madura
Di Kalteng, konflik antara etnik Dayak dan etnik
Madura pada awal 2001. Konflik tersebut, sebenarnya merupakan ulang-an dari
konflik antara kedua etnik itu yang terjadi beberapa tahun sebelumnya di
Kalbar. Bahkan 8 atau 9 kali berturut-turut dalam waktu dari lima tahun. Kalau
konflik itu dapat berkali-kali terjadi di Kalbar dan kemudian disusul di
Kalteng maka ada dua hal yang perlu diperhatikan:
(1) penyelesaian konflik di Kalbar dulu tidak tuntas,
artinya tidak dilakukan secara mendalam sampai pada akar-akar-nya;
(2) konflik seperti yang teru-lang di Kalteng
itu dapat terjadi lagi, mungkin di daerah lain.
konflik antara suku Dayak dengan Madura di Kalteng
berada dalam hubungan antar kedua etnik. Di Kalbar dan Kalteng kedua suku itu
hidup berdamping-an di suatu tempat atau lokasi dan mereka bisa melakukan
interaksi. Dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku-suku pendatang selain
suku Madura tidak ada masalah sosial atau ekonomi. Tetapi masalah yang
bertentangan itu ada dalam hubungan antara suku Da-yak dengan suku Madura.
Pada dasarnya terdapat persamaan antara konflik etnik
di Kalteng pada 2001 dengan yang terjadi di Kalbar pada 1999 dan sebelumnya,
baik dalam stereotip etnik maupun pola penyerangan. Dengan mengacu pada model
analisis kebudayaan dominan yang dikembangkan Bruner, penelitian Suparlan
(2000), menyebutkan bahwa kekerasan etnik yang terjadi di Sambas karena adanya
produk dan corak hubungan antaretnis yang didominasi oleh cara-cara kekeras-an
yang terpola yang telah dilaku-kan secara sepihak oleh orang-orang Madura.
Dengan kata lain, kekerasan yang dilakukan orang-orang Melayu Sambas dapat
dilihat sebagai imbas balik dari pendomi-nasian dengan cara-cara main ka-yu,
ancaman, dan kekerasan yang dilakukan oleh orang-orang Madura Sambas sebelum terjadinya
keru-suhan Sambas. Kekerasan orang-orang Melayu Sambas terhadap orang-orang
Madura Sambas yang berupa pembunuhan dan penghan-curan rumah serta segala harta
milik mereka, secara simbolik dapat dilihat sebagai sebuah upacara pembersihan
atau penyucian terha-dap kekotoran yang menimpa kehi-dupan mereka yang
dikarenakan oleh keberadaan dan perbuatan-perbuatan orang-orang Madura.
Temuan penelitian Suparlan menunjukkan, hubungan antar
et-nik yang relatif tidak berlangsung secara harmonis seperti yang terjadi
antara Orang Melayu-Madura dan antara Orang Dayak-Madura di Sambas, hubungan
antarpribadi atau perorangan di antara mereka tidak berlaku umum. Yang ada
adalah hubungan antar stereotip yang berupa label yang dihasilkan dari hubungan
antarkategori atau label yang tidak menunjukkan ciri-ciri kemanusiaan. Orang
Madura dilihat oleh Orang Melayu sebagai kategori hewan yang kotor, yaitu
anjing. Sebaliknya, Orang Madura melihat Orang Melayu sebagai penakut dan hanya
kelihatan besar tetapi kropos seperti krupuk. Sedangkan Orang Dayak melihat
orang Madura sebagai hewan hama dan buruan mereka yang rakus yaitu babi hutan,
dan sebaliknya Orang Madura melihat Orang Dayak sebagai kafir dan mahluk
terbela-kang. Konflik antarindividu yang menghasilkan kerusuhan antar su-ku
bangsa dan yang mewujud sebagai kekerasan dapat dipahami dengan mengacu pada
stereotip sukubangsa yang mereka punyai masing-masing dan yang mereka gunakan.
Yaitu, kekerasan telah terwujud karena pihak lawan tidak lagi dilihat sebagai
kategori manusia atau orang-perorang tetapi sebagai kategori hewan atau benda
yang sudah sewajarnya untuk dihancur-kan.
Kemudian, kesamaan yang cukup jelas antarkedua etnik
baik di Sambas maupun di Kalteng adalah terutama dalam pola penyerangan
terhadap orang-orang Madura sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Melayu dan
Dayak terhadap mereka di Sambas pada 1999, yaitu bunuh orang-orangnya, hancurkan
rumah dan harta bendanya, dominasi seluruh wilayah konflik dengan teror dan
ketakutan, sehingga orang Madura harus mengungsi dari wilayah tersebut. Berbeda
dengan orang-orang Melayu, tokoh-tokoh Dayak di Kalteng masih bersedia berdamai
dengan orang Madura sebagaimana terjadi berulang kali di Sambas. Suparlan
(2000), mempertanyakan mengapa kerusuhan massal tersebut baik antaretnis maupun
yang bukan di masa dan setelah kejatuhan Orde Baru selalu terwujud dalam bentuk
kekerasan? Hal itu terjadi dengan selalu didasari oleh adanya perasa-an
tertekan dan ketakutan yang meluas dalam masyarakat, serta dipicu oleh adanya
perlawanan yang dilakukan oleh korban pemalakan, atau kejahatan, atau tindakan
se-wenang-wenang terhadap sumber kesewenang-wenangan tersebut.
Perlawanan yang dilakukan oleh orang-perorang berubah
men-jadi perlawanan oleh kelompok, dan berkembang menjadi perlawanan massal
yang berupa amuk massal. Karena perlawanan yang dilakukan oleh perorangan
tersebut merupa-kan keinginan yang mendalam da-lam hati mereka yang juga
merasa-kan penderitaan karena kesewe-nang-wenangan tersebut. Perlawan-an yang
kemudian berubah menjadi amuk massa tersebut dapat dilihat sebagai puncak dari
keberanian un-tuk menghancurkan ketakutan dan teror yang mereka derita secara
massal yang sudah tidak tertahan-kan.
Dalam hubungan antara suku lokal Dayak dan suku
pendatang Madura di Kalbar dan Kalteng tampaknya prasangka nega-tif dari suku
Dayak terhadap suku Madura lebih mendalam daripada prasangka yang positif,
kalau pun ada. Lagi pula unsur budaya suku Madura di bidang ekonomi yang lebih
kuat ketimbang dalam kebu-dayaan suku Dayak membawa suku Madura pada tingkat
dominan di atas suku Dayak. Suku Dayak merasa tidak senang di daerah asalnya
sendiri didominasi oleh suku lain yang datang dari daerah lain. Sementara pada
pihak suku Madura berpendapat bahwa masya-rakatnya memberi sumbangan be-sar
pada perkembangan ekonomi umum, baik di Kalbar maupun di Kalteng. Tanpa
kegiatan ekonomi suku Madura, ekonomi di kedua daerah itu tidak akan menjadi
setinggi seperti sekarang.
Warga etnik Madura yang minoritas di tengah-tengah
suku Dayak yang mayoritas dikenal sebagai pekerja keras sekaligus memiliki
tingkat kesetiaan ke dalam (kelompok) yang kuat dan terus berusaha menggalang
kekuatan sosial dalam identitas etnisnya yang kuat pula. Akan tetapi hal itu
kurang diimbangi dengan upaya melakukan akulturasi dengan suku Dayak, sehingga
di mata orang-orang Dayak orang-orang Madura lebih dilihat sebagai orang asing.
Dalam konteks demikian, jika kita bertanya mengapa suku Dayak bermusuhan dengan
suku penda-tang yang Madura saja dan tidak suku pendatang lainnya? Menurut
Soemardjan (2001), karena suku-suku lain seperti Jawa, Bugis, Minangkabau,
Batak, dan lain sebagainya pandai berakulturasi dengan suku Dayak, sehingga
mereka dapat bekerjasama atau setidak-tidaknya berkoeksistensi dengan suku
mayoritas itu. Suku Madura bersikap berbeda dengan akibat konflik. Di antara
kedua suku itu (Dayak-Madura) timbul suasana konflik budaya. Semula bersifat laten
(tertutup), tetapi lama-lama cukup kuat untuk meledak menjadi konflik manifest
(terbuka) yang diwujudkan dengan interaksi yang berisikan permusuhan disertai
keke-rasan yang tak terkendalikan.
Di samping itu, ada kecende-rungan orang-orang Dayak
merasa bahwa orang-orang Madura tidak menghargai harkat martabat mere-ka
sebagai manusia dan sebagai penduduk setempat, dan juga me-mandang sebelah mata
adat-istiadat yang mereka junjung tinggi sebagai pedoman etika dan moral dalam
kehidupan mereka. Orang-orang Madura telah memperoleh keun-tungan secara
berlebihan (tanah-tanah pertanian dan kebun, rumah, monopoli kegiatan-kegiatan
ekono-mi, jasa, dan bisnis, monopoli eksploitasi atas sumber-sumber da-ya alam
yang ada) dengan cara-cara curang, ancaman, pemerasan, dan kekerasan berupa
teror mental dan penyiksaan serta pembunuhan. Orang-orang Madura tidak pernah
merasa bersalah terhadap warga masyarakat setempat maupun seca-ra umum adalah
salah dan secara hukum juga melanggar ketentuan hukum.
Jarak keyakinan, corak ke-budayaan, dan karakteristik
ma-sing-masing yang sangat jauh itu ditambah dengan stereotipe dan/ atau label
negatif dari masing-masing etnik terhadap yang lain menjadi penopang semangat
dan keberanian yang luar biasa kedua belah pihak ketika terjadi
peristiwa-peristiwa tertentu yang dinilai mengusik sentimentalisme etnisitas
mereka. Kenyataan itulah yang sesungguhnya menjadi akar masa-lah dalam
kerusuhan demi keru-suhan dan konflik demi konflik antara etnik Dayak dengan
etnis Madura baik di Kalteng maupun Kalbar.
Agaknya karena begitu kuat-nya citra negatif terhadap
etnik Madura oleh etnik Dayak, telah membangkitkan rasa nasionalisme etnisitas
masyarakat untuk mengu-sir orang-orang etnik Madura dari bumi Kalimantan
Tengah. Pasca tragedi Sampit, Pangkalan Bun, dan Palangkaraya, lewat LMMDD-KT
(Lembaga Musyawarah Masyarakat Masyarakat Dayak dan Daerah Kali-mantan Tengah),
masyarakat etnik Dayak hampir tak memberikan sedikit pun peluang bagi
orang-orang etnik Madura untuk kembali ke Kalteng. Kalau pun diperkenan-kan
kembali, maka syarat-syarat yang ditentukan sangatlah berat.
Dalam konteks stereotip etnis dan berbagai kekecewaan
lainnya (misalnya di bidang ekonomi) dari orang-orang Dayak terhadap
orang-orang Madura, maka hanya dengan latar pemicu yang sepele saja meledaklah
kerusuhan dalam wajah konflik etnik Dayak-Madura di Sampit, Palangkaraya, dan
Pangka-lan Bun, Kalteng pada awal 2001 itu, yang membawa ribuan korban nyawa
dan terbanyak di pihak etnik Madura. Orang-orang Madura yang masih hidup baik
yang tinggal di kota maupun yang tersebar di banyak desa di bumi Borneo itu
terpaksa memilih lari keluar ber-amai-ramai karena jiwanya teran-cam, dan
mereka itulah saat ini yang menjadi pengungsi di Pulau Madura.
2.5 Solusi untuk
mengatasi Konflik Sampit
a. Menerjunkan satuan pengamanan dari POLRI dan TNI ke lokasi kerusuhan.
Misalnya:
1.
Dengan memberikan seruan kepada semua pihak pertikaian.
2.
Mengadakan evakuasi para korban dan warga Madura kewilayah tetangga.
3.
Melaksanakan patroli dan menempatkan pasukan pada tempat yang rawan pertikaian.
b. Melakukan tindakan persuasif dan preventif
terhadap kelompok yang bertikai untuk mengantisipasi berkembangnya kerusuhan
yang meluas.
Seperti mengeluarkan himbauan
yang disampaikan media massa dan elektronik serta mobil keliling secara
kontinyu.
c. Meyakinkan Gubernur,para
Bupati dan Camat di Kalimantan Tengah agar tidak mengambil jalan pintas
memulangkan suku Madura kepulau Madura.
Karena warga Madura tinggal
didaerah Kalimantan Tengah sudah sejak tahun 1930 apabila Pemerintah
memulangkan suku Madura ke pulau Madura akan mengakibatkan kecemburuan social.
Konflik sampit ini selesai
karena adanya kerendahan hati dari tokoh-tokoh Madura untuk memulai perdamaian
dan terjadilah perjanjian perdamaian antara kedua suku apabila disalah satu
pihak ada yang melanggar akan dikenakan sanksi hukum.
Untuk mengenang peristiwa tersebut sebagai bentuk perdamaian dibuatlah Tugu
Perdamaian sebagai tanda perdamaian antara kedua suku. Tugu tersebut ditempatkan di bundaran Jl. Jend
Sudirman Sampit-Pangkalan bun km 3.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari tragedi tersebut dapat
diambil kesimpulan bahwa perang sampit adalah tragedi kemanusiaan yang terjadi
antara suku Dayak dan suku pendatang Madura yang pindah dengan tujuan
melaksanakan sistem Transmigrasi yang di lakukan oleh Pemerintahan Belanda
dalam proses pemerataan penduduk.
Suku Madura pindah ke
Kalimantan Tengah dan meminjam tanah kepada suku Dayak sebagai tempat untuk
tinggal.
Oleh karena itu, konflik ini
jangan terulang kembali. Karena jika kembali terjadi akan merusak nilai-nilai
kerukunan di Indonesia.
3.2 Saran
Sistem kekerabatan, rasa saling menghormati,
menyayangi dan sikap toleransi harus lebih di tingkatkan lagi sesama warga di Indonesia,
walaupun berbeda ras, suku dan agama demi mewujudkan Negara Indonesia yang
aman, damai dan sesuai dengan semboyan Bangsa Indonesia yang dikenal dengan
“Bhineka Tunggal Ika.”
No comments:
Post a Comment